Selasa, 12 April 2011

TATA NIAGA KAYU ALALAK

Berbicara mengenai permasalahan kawasan industri kayu Alalak tidak terlepas dari 2(dua) kelurahan yaitu Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Utara Kecamatan Alalak Kota Banjarmasin dan 5(lima) desa yaitu Desa Berangas, Desa Berigin, Pulau Sugara, Alalak dan Pulau Semangi yang terdapat di kecamatan Alalak Kabupaten Batola.
Wilayah Alalak Besar yang terdiri dari kelurahan Alalak Selatan, Alalak Tengah dan Alalak Utara merupakan salah satu pemukiman tertua di Banjarmasin, nama kawasan ini sudah ada di dalam hikayat Banjar yang ditulis terakhir pada tahun 1663. Nama Alalak Besar dalam hikayat Banjar disebut Halalak sedangkan Desa Pulau Alalak kabupaten Batola merupakan desa dalam sebuah pulau (delta) yang disebut Pulau Alalak, dalam Hikayat Banjar disebut Pulau Halalak.
Masyarakat Alalak kebanyakan berprofesi sebagai pekerja kayu yang sudah dilakukan secara turun temurun beberapa generasi. Dikawasan ini banyak terdapat penggergajian kayu (sawmil dan bansaw) pembuatan kapal dan mebel.
Letaknya Alalak dari masa ke masa merupakan jalur distribusi perdagangan kayu dan perdagangan antar pulau
Mengingat Barito Kuala hanya memiliki 2,18 % kawasan hutan dan kotamadya Banjarmasin hanya memiliki hutan bakau, sehingga bisa dipastikan Kawasan Alalak tidak memiliki konsesi hutan untuk mensuplai bahan baku kayu.
Latar Belakang

Meskipun REI berusaha untuk mencari bahan alternatif pengganti kayu yang lebih murah selain untuk menekan harga pembangunan rumah tetapi juga keberadaan kayu dirasakan semakin langka namun bahan kayu bagi industri ini tetap saja dibutuhkan, begitu juga dengan industri meubel dan sejenisnya.

Sehingga sangatlah bijak jika instansi terkait menata kawasan Alalak karena:
Kayu merupakan kebutuhan primer yang masih diperlukan bagi pembangunan Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan
Industri kayu Alalak banyak menyerap tenaga kerja lokal yang bermukim di sepanjang Sungai Barito.

Permasalahan dan Solusi
Penyediaan Bahan Baku Dalam Jangka Pendek
Habisnya hutan juga malapetaka bagi warga lokal, bukan hanya bagi pemegang HPH. Akibat pasokan bahan baku yang mulai langka, semua industri terimbas. Bedanya, jika HPH sudah kenyang mengeruk hutan, industri kayu rakyat sejak dulu hingga sekarang hanya beroperasi sekadar untuk menghidupi keluarga pekerjanya saja.

Selain itu penyedian bahan baku yang selama ini didapatkan dari kayu limbah industri/kayu rijek ada juga yang berasal dari kayu hayutan Kalimantan Tengah yang dianggap sebagai hasil illegal logging atau penebangan hutan liar. Anggapan ini tentu saja tidak sepenuhnya salah karena banyaknya sawmil liar menyebabkan penebangan secara liar juga marak terjadi.

Berdasarkan data Walhi Indonesia di sepanjang Sungai Barito Alalak beroperasi sekitar 129 industri kayu, terdiri dan 14 industri plywood. Daya serap Industri Kayu Alalak terhadap tenaga kerja, lebih dari 18.000 pekerja baik yang ditampung disektor formal maupun informal.

Dengan keterbatasan bahan baku saat ini menyebabkan banyak usaha gulung tikar dan pengangguran di kawasan ini semakin meningkat sehingga pemenuhan bahan baku dalam jangka pendek sangat diperlukan untuk menjamin kelangsungan usaha dan menekan pengangguran.

Mengatasi kelangkaan bahan baku dan mengingat di sepanjang sungai Barito di dekat Pulau Alalak beroperasi juga industri plywood, maka kebutuhan bahan baku bagi Industri rakyat dapat diatasi dengan sistem tata niaga penyediaan bahan baku log maupun kayu rijek dengan para industry kayu olahan.

Besarnya kebutuhan yang harus dipasok oleh indutri kayu olahan kepada industri kayu rakyat dapat diatur oleh pemerintah daerah dengan Peraturan Daerah yang mewajibkan industri kayu olahan mensuplai bahan baku kepada industri kayu rakyat dalam jumlah tertentu sesuai kesepatan bersama


Selain itu dalam jangka panjang industri kayu Alalak juga perlu dikaji kembali untuk memiliki hak dan mengolah HPH yang ditinggalkan dan HTI dengan bantuan dan binaan dari pemerintah atau setidaknya pemerintah memfasilitasi kontrak suplay bahan baku antara industri kayu Alalak dengan masyarakat pengelola HTI
Dukungan Peraturan Terhadap Industri Kayu Alalak Dalam Jangka Panjang
Nasib industri perkayuan informal kini semakin tak menentu karena memang tidak ada aturan yang menatanya. Dalam khazanah industri kehutanan, industri rakyat itu tidak memenuhi persyaratan dan pasti akan kena dampak kebijakan restrukturisasi karena tidak ada jaminan bahan baku.
Kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini memang lebih mengarah pada bagaimana menyediakan suplai bagi kebutuhan perusahaan HPH. Pemerintah memang hanya mengejar target-target ekspor tanpa memperhatikan mekanisme penyediaan kayu lokal.

Saat kayu semakin langka, dalam jangka panjang sebaiknya pemerintah juga tidak membiarkan industri kayu rakyat berdiri tanpa aturan dan pembinaan. Peraturan yang jelas tentang Tataniaga kawasan Alalak akan memudahkan pemerintah untuk mengawasi berdirinya sawmil-sawmil liar yang merugikan penerimaan pajak daerah (PAD). Selain itu pembinaan dari pemerintah diharapkan juga bisa meningkatkan peran kawasan ini tidak hanya sebagai pengolah bahan mentah tetapi juga menjadi bahan setengah jadi dan aneka produk terkait seperti mebel, kapal dll yang berkwalitas dan memilki daya saing sehingga meningkatkan nilai jual dan kesejahteraan masyarakat Alalak.
Tidak bisa dipungkiri keberadaan sawmill liar menyebabkan kasus penebangan liar marak terjadi selain itu juga menumbuhkan mental kriminal dan budaya tidak profesional dikalangan usaha kayu di Kawasan Alalak yang kurang mendidik bagi SDM masyarakat Alalak baik dimasa sekarang maupun dimasa akan datang.

Guna kelangsungan usaha kawasan Alalak diperlukan sebuah tata niaga agar warga Alalak bisa menjalankan usahanya dengan tenang dan focus tanpa terhalang peraturan- peraturan yang ilegal. Peraturan tersebut merupakan payung hukum berupa peraturan daerah yang mengaturnya tentang Tataniaga Industri Kayu Rakyat memuat secara lengkap tentang :
a. Tata kelola lingkungan
b. Penyediaan bahan baku
c. Manajemen usaha
d. Kebijakan harga dan perpajakan
e. Pasar


Penutup
Sudah Saatnya semua instansi terkait duduk bersama untuk membenahi tata niaga perdagangan kayu rakyat agar pengusaha para pekerja kayu di kawasan Alalak memiliki kepastian penghasilan dan masa depannya.
Era hutan sebagai industri di Kalimantan Selatan sudah berakhir karena hutan Kalsel semakin habis. Kalimantan Selatan sekarang memasuki era pengamanan hutan alam dan rehabilitasi karena kawasan hutan yang rusak telah mencapai lebih dari 500.000 hektar kondisi ini mudah-mudahan memberikan kesadaran kita bersama khususnya untuk masyarakat Kalimantan Selatan hutan harus dilestarikan, tata niaga niaga yang jelas bagi industri kayu rakyat Alalak mudah-mudahan mampu turut serta mengamankan hutan dari penjarahan dimasa depan.

WALHI Kalsel Position Paper on UFS

Banjarbaru, 11 September 2006. Investasi pembangunan pabrik kayu serpih (PT MAL) di Kalimantan Selatan ternyata menimbulkan berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Pabrik ini berada di desa Ale Ale-Tanjung Seloka Kecamatan Pulau Laut Selatan Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Perusahaan ini merupakan salah satu dari anak perusahaan dari UFS selain PT Marga Buana Bumi Mulia (PT MBBM) untuk pabrik bubur kertas [1] dan PT Hutan Rindang Banua (PT HRB) untuk perusahaan HTI yang berada di Kalimantan Selatan. UFS (United Fibre System) Singapore adalah konsorsium asing yang beranggotakan perusahaan dari delapan negara yang berkantor pusat di Singapura.
Berbagai permasalahan tersebut antara lain terjadinya konflik penguasaan lahan antar perusahaan dengan masyarakat yang mencuat pada pertengahan tahun 2005 dan sampai dengan saat ini masalah ganti rugi lahan masyarakat masih belum terselesaikan. Hal ini sangat merugikan masyarakat di desa-desa sekitar tapak projek industri kayu serpih tersebut. Permasalahan lain yang timbul adalah masalah tenaga kerja, dimana janji perusahaan (PT. MAL) untuk mengambil tenaga kerja dengan prosentasi lebih besar berasal dari masyarakat sekitar projek, pada kenyataannya hanya beberapa orang penduduk saja yang diangkat menjadi pekerja pada penerimaan tenaga kerja pada bulan Juli yang lalu, sebagian besar tenaga kerja justru berasal dari luar daerah. Dalih perusahaan bahwa masyarakat lokal tidak memiliki skill, keterampilan dan pendidikan yang memadai sehigga tidak dapat diterima menjadi pekerja diperusahaan tentu saja mengecewakan masyarakat, sebab menurut sumber-sumber dari masyarakat sebelumnya perusahaan berjanji untuk mempekerjakan para pemuda daerah tersebut di perusahaan.
Masyarakat di 5 (lima) desa sekitar tapak projek (Desa Ale Ale, desa Sungai Bahim, desa Sungai Bulan, desa Teluk Sirih dan desa Tanjung Seloka) juga kecewa dengan sikap perusahaan yang tidak transparan dalam memberikan informasi tentang industri yang mereka bangun dan juga tidak pernah mengajak masyarakat terlibat dalam melaksanakan Analisi Dampak Lingkungan perusahaan, sampai saat ini tidak ada sosialisasi tentang Amdal dari perusahaan pada masyarakat.
Mengenai ketersediaan bahan baku saja, sampai saat ini masih belum terjawab dengan tuntas, dimana klaim UFS bahwa 'kebun kayu' untuk pasokan bahan bakunya seluas 50.000 ha yang notabene adalah HTI Inhutani II menjadi satu permasalahan tersendiri, dimana pada kenyataannya luasan HTI Inhutani II di Semaras yang disebut-sebut sebagai HTI penyuplai bahan baku hanya seluas 29.141 ha, belum lagi HTI ini juga merupakan HTI penyuplai bahan baku untuk Kiani Kertas di Kalimantan Timur, sehingga sangat mustahil mampu mendukung kapasitas produksi industri yang direncanakan mencapai 600.000 ton/thn.
Selain permasalahan real yang terjadi dengan masyarakat, sebenarnya pembangunan industri ini di Kalsel masih perlu di pertanyakan mengenai status legalnya, karena sampai saat ini belum mendapatkan ijin dari menteri kehutanan untuk pembangunan industri kayu serpih. Ijin legalitasnya hanya sampai pada ijin HO (ijin gangguan) untuk pelabuhan khusus dari Bupati Kotabaru, namun kenyataanya mereka sudah melakukan pembangunan pabriknya. Padahal dalam pembangunan industri kehutanan dengan kapasitas di atas 6000 m3 per tahun harus mendapatkan ijin dari Menteri Kehutanan dengan rekomendasi oleh Gubernur melalui dinas kehutanan propinsi.[2] Berdasarkan hal tersebut Bapedalda Propinsi Kalsel menolak usulan AMDAL yang di ajukan oleh PT. MAL.
Berkaitan dengan hal tersebut, WALHI Kalimantan Selatan menyatakan agar pembangunan industri tersebut dihentikan. karena pembangunan industri tersebut penuh dengan manipulasi, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menutupi bahan baku produksi industri tersebut akan mengambil dari hutan alam. Belum lagi masalah pengabaian ketaatan terhadap hukum yang dilakukan karena salah satu yang menyebabkan krisis sektor kehutanan dan kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang adalah ketika aturan hukum disalahgunakan melalui kekuatan modal dan konspirasi politik.

INDUSTRI KAYU KALSEL KIAN TERTATIH-TATIH
Posted on Oktober 27, 2007 by hasanzainuddin
Banjarmasin (ANTARA News) – Bila dua dasawarsa lalu Kalsel masih bangga miliki “segudang” industri kayu lapis berorientasi ekspor, maka kini yang tersisa tak lebih dari kenangan belaka.
Kebanggan yang kini berubah menjadi jeritan dan rintihan itu bukan saja terdengar dari pengusaha sendiri, tapi juga menimpa ribuan pekerja, baik yang terpaksa dikeluarkan (PHK), maupun gajinya dikurangi dari sebelumnya secara sepihak.
Itu semua terjadi akibat keserakahan manusia yang tak mempertimbangkan keseimbangan lingkungan, dengan menguras habis kayu di hutan.
Data menunjukkan Kalsel memiliki sekitar 1,6 juta hektar (ha) hutan, 751.252 ha di antaranya hutan lindung, dan sisanya (900.000 ha) hutan produksi. Itu hanyalah hitungan di atas kertas, tetapi diperkirakan kondisi sebenarnya sangat jauh dari itu.
Persoalannya, dengan luas hutan yang masih tersisa, mampukah Kalsel menyediakan bahan baku bagi 18 unit pabrik kayu yang semuanya tergolong berskala besar?
Mereka membutuhkan bahan baku kayu sedikitnya 2 juta M3 per tahun, padahal dari luas hutan Kalsel paling banter hanya bisa diperoleh 200 ribu M3 saja per tahun.
“Sudah tahu kemampuan segitu, kenapa dulu mendirikan pabrik sebanyak itu, dengan investasi tak terhingga. Itu namanya keserakahan,” demikian sering terdengar celotehan sinis dari masyarakat setempat.
Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Sony Partono, mengakui bahwa Kalsel kini sangat sulit memenuhi kebutuhan pabrik akan bahan baku, karena kayu di hutan sana sangat kurang.
Untuk memenuhi kebutuhan industri kayu Kalsel, jutaan M3 kayu gelondongan kini dipasok dari luar Kalsel, seperti Kaltim, Kalteng, Sulawesi, Maluku, Jawa, Papua, Sumatera, bahkan untuk lapisan atas kayu lapis ada yang didatangkan dari luar negeri.
Kondisi itu diduga dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memasok kayu ilegal, sehingga kasus `illegal logging` (penebangan kayu liar) marak di wilayah ini, katanya.
Menurut catatan lain, penebangan kayu secara ilegal ini terus berlangsung di Kalsel, sehingga memperparah kerusakan hutan. Terakhir, sedikitnya 500 ribu ha lahan Kalsel sudah rusak akibat penebangan kayu ilagal tersebut.
Penebangan kayu itu tak lagi mengindahkan keramahan lingkungan. Pelakunya bahkan sampai membabat kayu di hutan lindung, termasuk di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam, yang merupakan hutan resapan air Bendungan Riam Kanan.
Bendungan ini juga merupakan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan sumber air bersih penduduk kota Banjarmasin dan sekitarnya.
Dulu, kebutuhan Kalsel akan kayu industri cukup mengandalkan jenis kayu ekonomis saja seperti meranti. Namun, kini kayu apa pun dibabat habis, termasuk tanaman buah-buahan, untuk lapisan tengah kayu lapis (plywood).
Keluhan tentang kian habisnya kayu buah-buahan antara lain diutarakan warga di kawasan Kabupaten Balangan, Tabalong, dan Hulu Sungai Tengah (HST). Saking rakusnya, kayu buah-buahan langka pun mereka sikat.
“Banyak pohon `lahung` (buah famili duren warna kulit merah) usia ratusan tahun ditebang guna diolah menjadi papan. Padahal buah itu khas Kalimantan dan langka, hingga sekarang sulit ditemui lagi,” kata Abdullah, warga Balangan memberi contoh.
Tanaman lain yang juga ikut menjadi korban adalah pohon kemiri, kecapi, hambawang ((famili mangga-manggan/mangevera), kupang, pampakin, serta pohon lain yang bentuk batangnya besar.
Akibat sulitnya kini mencari bahan baku kayu, banyak perusahaan kayu Kalsel sekarat. Dari 18 pabrik kayu lapis, empat di antaranya sudah gulung tikar, sementara 14 lainnya kini kehidupannya sudah kembang-kempis. Sebelumnya, ke-18 perusahaan itu masing-masing mempekerjakan sekitar 2.000 buruh.
Menurut pengusaha kayu lapis, mereka beroperasi sebenarnya kasihan terhadap nasib buruh saja, karena kalau mereka di-PHK perusahaan juga harus memberikan pesangon dalam jumlah yang relatif besar.
“Yang penting bagi kami, industri tetap jalan setidaknya mampu untuk menutupi biaya operasi, serta menampung kehidupan ribuan buruh itu,” kata pengusaha yang enggan disebutkan namanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalsel, Adi Laksono, menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan pasokan kayu Kalsel menurun, antaranya kayu di hutan kurang, ditambah aturan pengurangan jatah tebang hutan (JTH) Kalsel dari 56 jadi 52 ribu M3 per tahun.
Bukan hanya pabrik kayu lapis skala besar menjerit kekurangan kayu, tapi juga kehidupan industri kecil kayu gergajian milik rakyat kecil.
Sebagai gambaran, dari 1500 unit industri gergajian rakyat, kini tinggal 450 unit saja.
Pihak industri kayu gergajian setempat pernah melakukan unjuk rasa ke DPRD Kalsel belum lama ini, untuk memprotes ketentuan pemerintah tentang pembatasan pemanfaatan kayu.
Unjuk rasa itu antara lain dilakukan pengusaha serta buruh industri gergajian di Desa Alalak pinggiran kota Banjarmasin.
Mereka mendesak agar pemerintah membolehkan penggunaan kayu limbah (paparan) dibuat kayu gergajian, guna menghidupi kelanjutan usaha yang telah mereka geluti secara turun-temurun itu.
Bukan hanya ribuan pekerja kayu gergajian mengganggur akibat kesulitan bahan baku itu, ribuan buruh pabrik kayu lapis juga terpaksa dirumahkan selama beberapa tahun belakangan ini.
Kepala Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) Kalimantan Selatan, M.Kurdiansyah mengakui dalam tahun 2005 saja, 450 karyawan terkena PHK, belum termasuk korban pada tahun-tahun sebelumnya yang jumlahnya ditaksir mencapai ribuan orang, sebagian besar kasus PHK itu terjadi di lingkungan perusahaan kayu.(*)
tautan: http://www.antara.co.id/arc/2006/1/6/industri-kayu-kalsel-kian-tertatih-tatih

http://yphindonesia.org/index.php/berita/618-berbenah-setelah-kayu-dilarang?widthstyle=w-thin
SEBUAH plang kecil terbuat dari papan kayu bertuliskan Welcome to Kampung Wisata berdiri kukuh. Lokasinya di tapal batas antara Kelurahan Alalak Selatan dan Kuin Utara, wilayah utara Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Bila dibandingkan dengan kondisi setahun lalu, kehidupan warga di permukiman kumuh tepi Sungai Barito itu sepintas tidak banyak berubah. Samaseperti kondisi permukiman miskin di banyak daerah, kampung ini hanya memiliki jalan sempit, penuh lubang, plus pemandangan rumah-rumah desa yang dibangun ber-dempetan.
Namun, saat masuk lebih dalam, ada sedikit perbedaan dari lingkungan lain. Sejumlah pria dan perempuan dewasa terlihat sibuk mengerjakan aneka kerajinan. Konon, kegiatan inilah yang mampu menopang perekonomian mereka.
"Dulu warga di sini banyak menganggur karena industri kayu terpuruk," tutur Soleh, 45, warga Alalak Selatan. Tangannya terampil bekerja membuat kerajinan perahu hiasan.
Mayoritas warga tepi Sungai Barito ini sejak dulu mengandalkan mata pencarian dari industri kayu skala kecil atau handsaw. Mereka menjadi pemilik atau yang kurang beruntung bekerja sebagai buruhnya.
Seiring dengan makin sulitnya bahan baku dan gencarnya operasi penertiban oleh polisi,industri kayu yang mencapai ratusan buah bergelimpangan. Hanya sedikit yang mampu bertahan.
Usaha transportasi sungai juga ikut tergerus menyusul semakin berkurangnya jumlah pekerja industri kayu yang memanfaatkan jasa transportasi dengan perahu. Nasib yang sama menimpa pasar terapung yang selama ini memberi pemasukan warga tepi sungai. Kegiatan jual beli di sungai juga semakin berkurang. Karena itu, beberapa tahun ini, kondisi warga tepi Sungai Barito identik dengan kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar