Selasa, 12 April 2011

LAMPIT KIAN TERJEPIT

Industri kerajinan lampit di Kalimantan Selatan terpuruk. Hal itu akibat keterbatasan permodalan, ketatnya persaingan pasar, serta semakin sulitnya bahan baku rotan.
Denny Susanto
Sebuah truk parkir di tepi jalan di Desa Jumba, Kecamatan Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kalsel). Beberapa pekerja sibuk memanggul gulungan tikar rotan berwarna putih kekuningan ke atas truk. Tikar dari rotan atau lampit-lampit tersebut akan dikirim ke wilayah Banjarmasin, ibu kota Kalsel, untuk kemudian dipasarkan. Kerajinan ini tidak hanya dipasarkan di wilayah Kalsel, tapi juga dipasok ke Pulau Jawa melalui Surabaya dan Jakarta.
"Ini pengiriman pertama dalam dua bulan terakhir," ucap Zainal Ariffin, perajin lampit di Desa Jumba. Ia mengeluhkan dalam beberapa tahun terakhir, industri rumah tangga pembuatan lampit yang bergerak melambat di desanya terus terpuruk. Pada masa jayanya di era 1980-an, usaha pembuatan lampit yang digelutinya secara turun-temurun itu mampu menghasilkan dua sampai tiga kali pengiriman dalam sebulan.
Namun, sekarang sejumlah industri rumah tangga pembuatan lampit di Desa Jumba telah tutup. Ada sejumlah desa di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang merupakan sentra industri rumah tangga pembuatan lampit. Hulu Sungai Utara sendiri memang dikenal sebagai sentra industri kerajinan seperti lampit, tikar purun, anyam-anyaman, dan kayu.
Desa-desa itu meliputi Palampitan, Jumba, Kota Raja, Jarang Kuantan, Harus, dan Telaga Silaba. Keterpurukan industri itu nasibnya nyaris sama dengan industri perkayuan akibat keterbatasan permodalan, ketatnya persaingan pasar, serta semakin sulitnya ba-han baku rotan. Semua itu membuat banyak usaha rakyat ini gulung tikar.
Proses pembuatan lampit sendiri cukup sulit. Bahan baku pembuatan lampit berasal dari rotan yang sudah tua.

Terlebih dahulu kulit pembungkus rotan yang masih dipenuhi duri dilepas, kemudian digosok pasir berstruktur halus dan air. "Ukuran rotan yang digunakan untuk pembuatan lampit berdiameter antara 0,5 cm sampai 1,5 cm dengan panjang berkisar 5 m sampai 25 m. Panjangnya rotan ini tergantung umurnya, semakin tua maka rotan akan semakin panjang," ujarnya.
Selain itu, rotan harus disikat supaya bersih. Setelah bersih rotan baru dipotong sesuai ukuran lampit yang dikehendaki. Rotan yang sudah dipotong kemudian dibelah dan dikeringkan. Lalu dilakukan pengeringan dan pelurusan (penjangatan). Peralatan yang digunakan ada yang secara tradisional atau menggunakan mesin.
Setelah melalui tahapan penyortiran, memisahkan bahan berdasarkan kualitas, barulah rotan diberi lobang (landasan) dan selanjutnya barulah dirangkai menjadi tikar sesuai keinginan. Pemda kurang peduli Anggota DPR RI asal Kalsel, Habib AboeBakar Al Habsy mengaku prihatin dengan kondisi terpuruknya industri rakyat pembuatan lampit. Ia khawatir jika tidak cepat diselamatkan, industri kerajinan rakyat ini akan punah. "Kurangnya kepedulian pemerintah daerah (pemda) untuk membina para perajin membuat semakin memurukkan industri kerajinan rakyat ini. Dari tahun ke tahun, perkembangan industri rotan dan lampit di Kalsel terus memudar," ucap Habib.
Ia mengemukakan produksi kerajinan lampit di Kalsel sempat mencapai 5 juta meter per tahun. Namun, sejak lesunya permintaan ekspor, produksi lampit menurun drastis, kini tinggal sekitar 200 ribu meter per tahun.
Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel, saat ini permintaan ekspor produk kerajinan rotan dari daerah ini tinggal 30% jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebanyak 70 I lainnya diisi permintaan ekspor berupa rotan bulat maupun rotan setengah jadi.
Subardjo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel, mengungkapkan sepanjang 2009 periode Januari-Agustus, volume ekspor rotan tinggal 4,1 ribu ton atau turun 16". ketimbang 008 yang mencapai 4,8 ribu ton.
"Demikian juga dengan nilai ekspor rotan, turun dari US$5,5 juta menjadi hanya US$5 juta."Pada masa jayanya hingga 2004, ekspor rotan asal Kalsel mencapai 6.139 ton dengan nilai US$8,484 juta.
Mayoritas ekspor untuk memenuhi permintaan China, sementara permintaan dari negara tujuan ekspor rotan seperti Jepang dan Korea justru menurun. Kondisi ini merupakan konsekuensi dilematis bagi iklim dunia usaha di Kalsel karena lesunya permintaan sehingga petani dan pengusaha berada pada posisi sulit. (N-l).
Bahan baku pembuatan lampit berasal dari rotan yang sudah tua. "Ukuran rotan yang digunakan untuk pembuatan lampit berdiameter antara 0,5 cm sampai 1,5 cm dengan panjang berkisar 5 m sampai 25 m. Panjangnya rotan ini tergantung umurnya, semakin tua maka rotan akan semakin panjang," ujarnya. Dari tahun ke tahun, perkembangan industri rotan dan lampit di Kalsel terus memudar," ucap Habib. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel, saat ini permintaan ekspor produk kerajinan rotan dari daerah ini tinggal 30% jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebanyak 70 I lainnya diisi permintaan ekspor berupa rotan bulat maupun rotan setengah jadi. Subardjo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel, mengungkapkan sepanjang 2009 periode Januari-Agustus, volume ekspor rotan tinggal 4,1 ribu ton atau turun 16". Mayoritas ekspor untuk memenuhi permintaan China, sementara permintaan dari negara tujuan ekspor rotan seperti Jepang dan Korea justru menurun.

Mesin Pengolah Dorong Industri Rotan
Kamis, 12 Oktober 2006 01:28:30


Amuntai, BPost

Tiga unit peralatan mesin pengolah rotan yang diberikan Dirjen Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian RI, diharapkan mampu membangkitkan industri rotan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, juga memperbaiki kualitas produk.


Jenis peralatan itu masing-masing satu unit mesin pembelah (split) yang dilengkapi delapan roller, mesin penipis kapasitas 40 kg per delapan jam, dan rattan weaving.

Wakil Bupati HSU, HM Welny, mengatakan tiga unit mesin itu masih menunggu kiriman dari pusat. "Diperkirakan Oktober sudah datang karena sudah ditenderkan," kata Welny yang juga Pembina UKM HSU.


Mesin pengolah ini, kata Welny, akan dikelola Kelompok Usaha Bersama (KUB) Mandiri di Desa Jumba, Amuntai Selatan, karena di daerah tersebut sebagian besar perajin rotan masih eksis.
Dengan bantuan mesin itu, diharapkan membantu perajin meningkatkan kuantitas produksi maupun kualitas. Syamsuri, staf Bidang Perindustrian Dinas Perindagkop HSU, mengatakan perkembangan industri rotan, khususnya lampit, mengalami penurunan. "Dulu ratusan, kini hanya 30-an industri," ujarnya.


Merosotnya produksi di HSU ini, jelas dia, antara lain disebabkan persaingan dengan perajin negara seperti China. Produksi lampit dan anyaman rotan dari HSU pada masa kejayaannya 1980-1990-an merebut pasar luar negri seperti Jepang, China dan Korea. Masuknya produk China membuat produk HSU kalah bersaing dari segi kualitas.


Sampai saat ini, perajin HSU berupaya meningkat kualitas produk, meskipun kegiatan produksi terbatas pesanan pihak kedua (perusahaan pengekspor) kerajinan rotan di Banjarmasin.Dulu kegiatan pengiriman keluar negeri dilakukan sendiri oleh pengusaha pengolahan rotan di daerah ini.

"Sekarang tidak ada lagi. Mereka bekerjasama dengan perusahaan eksportir rotan di Banjarmasin. Perusahaan itulah yang memfasilitasi pesanan, jenis desain produk sampai pengadaan bahan baku rotannya. Perajin tinggal melaksanakan order itu," jelas Syamsuri. han

Rotan Terkendala Infrastruktur
Gagasan membangun industri mebel rotan di daerah-daerah penghasil bahan baku rotan, seperti Sulawesi dan Kalimantan, patut diapresiasi. Namun, usaha itu terkendala minimnya tenaga terampil dan infrastruktur sehingga biaya produksi dan pemasaran meroket.
Demikian tanggapan sejumlah pengusaha rotan dan mebel rotan secara terpisah dari sejumlah daerah, Senin (24/5), terkait mati surinya hasil rotan dan industri rotan di Tanah Air. Mereka yang memberikan tanggapan adalah Sabar Nagarimba Liem (Direktur PT Gimex), Julius Hoesan (Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia/APRI), dan Hatta Sinatra (Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia/AMKRI).
Pernyataan mereka diperkuat komentar Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Kepala Bidang Industri dan Usaha Mikro Kecil Menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Selatan Hasan Tolaohu, serta Kepala Bidang Produksi dan Peredaran Hasil Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Burhan Lakuy.
Janji menteri
Menteri Perindustrian MS Hidayat, Senin di Jakarta, mengakui, masalah kebijakan industri rotan sudah menjadi jeritan yang berkepanjangan. Pemerintah berjanji akan lebih serius menangani masalah ini.
”Saya mau undang Menteri Perdagangan untuk duduk bersama mencari solusi terbaik supaya pemerintah daerah yang dituntut memperoleh pendapatan daerah juga dapat merasakan hasil jerih payah petaninya,” tutur Hidayat.
Adapun Ketua Umum Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia Ambar Polah Tjahyono menambahkan, pemerintah harus memberi perhatian pada sektor hulu dan hilir industri rotan. Tidak cukup hanya menerbitkan keputusan Menteri Perdagangan tentang ekspor rotan.
Menurut Ambar, pesaing Indonesia sudah mengampanyekan plastik dengan motif mirip rotan sehingga menggilas produk rotan Indonesia. Industri rotan tergeser rotan plastik.
Menurut Ambar ”rotan plastik” telah memicu jatuhnya ekspor produk rotan dari 325 juta dollar Amerika Serikat (2005) menjadi hanya 100 juta dollar AS (2009).
”Minimnya penyerapan rotan mengindikasikan riset dan pengembangan industri rotan lemah. Untuk itu, dukungan pemerintah dalam mengampanyekan produk rotan juga sangat dibutuhkan, terutama dalam pemasaran,” papar Ambar.
Sabar Nagarimba Liem mengingatkan, gagasan membangun industri mebel rotan di Sulawesi dilontarkan Departemen Perindustrian tahun 2008 saat kementerian itu dipimpin oleh Fahmi Idris. Tujuannya, memberdayakan masyarakat di daerah penghasil bahan baku serta menambah nilai produk rotan di pasaran ekspor.
Namun, gagasan itu tak didukung penyediaan tenaga terampil di bidang kerajinan rotan. Akibatnya, investor harus mendidik sendiri atau mendatangkan perajin rotan dari Jawa dengan ongkos tinggi.
Pertimbangan itu mendorong pengusaha mebel rotan memilih mendirikan pabrik di Jawa, terutama di Cirebon, Jawa Barat.

Listrik dan infrastruktur
Persoalan mendasar lain adalah tidak memadainya suplai listrik dan infrastruktur. Di Sulawesi Tenggara dan Kalimantan, misalnya, investor enggan masuk karena tidak ada jaminan pasokan listrik.
Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengatakan, suplai listrik untuk rumah tangga saja belum mencukupi, apalagi untuk industri. Karena itu, pihaknya terus mendesak agar pembangunan infrastruktur dan pasokan listrik dipercepat untuk mendukung industri di daerahnya. ”Konsumsi listrik hanya 45 persen dari kebutuhan rumah tangga, sedangkan untuk industri belum tersedia. Untuk kebutuhan sekarang masih kurang 52 megawatt,” kata Nur Alam sambil menegaskan, jika pemerintah serius ingin membangun industri mebel rotan di Sulawesi, seharusnya infrastruktur, sumber daya manusia, dan bahan pendukung dibangun dan diperbaiki.
Hatta Sinatra melihat, andai kata industri rotan bisa dibangun di Makassar atau Palu, tetap saja akan berbiaya tinggi sebab, dari sisi pengiriman barang, biaya pengapalan mebel dari Palu lebih mahal 750-1.000 dollar AS per kontainer dibandingkan dengan dari Jakarta. Sebab, pelabuhan di Palu tak laik disinggahi kapal kontainer tujuan luar negeri.
Meski sumber tanaman rotan ada di Sulawesi, rotan hanya mengisi 20 persen kebutuhan mebel. Komponen lain, seperti besi, sekrup, ampelas, dan cat, total nilainya mencapai 80 persen dari keseluruhan biaya.
Berdasarkan pantauan Kompas, di Sulawesi Tenggara—salah satu sentra penghasil bahan baku rotan—tidak ditemukan industri mebel rotan untuk kelas ekspor. Yang ada adalah industri setengah jadi dan itu pun kini gulung tikar.
Menurut data APRI Kabupaten Konawe, dari 33 usaha penggorengan (proses perebusan dengan minyak tanah), saat ini hanya tersisa enam.
Industri mebel rotan ekspor juga tak berkembang di Sulawesi Barat. Di Desa Keppe, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, produk kerajinan rotan hanya sebatas tikar. Menurut Nahar, Sekretaris Desa Keppe, industri mebel rotan pun hanya mengandalkan pasar lokal. Itu pun menunggu pesanan.
Situasi serupa terjadi di Sulsel akibat minimnya tenaga kerja terampil. ”Tak ada yang mau mengajari warga dan memang mereka lebih senang berkebun atau mencari rotan di hutan,” kata Hamsring (40), pengepul rotan di Luwu Timur.
Kondisi serupa terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Industri rotan hanya merambah pasar lokal, sebagaimana penjelasan Pelaksana Tugas Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel Gusti Yasin Iqbal. Permintaan dari luar negeri relatif kecil sebab umumnya berupa peralatan tradisional lampit atau tikar.
Di Papua, jenis rotannya mengandung kadar air tinggi sehingga kurang laku. ”Hutan pantai Sorong dan Kaimana sumbernya,” kata Kepala Bidang Produksi dan Peredaran Hasil Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Burhan Lakuy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar